Jumat, 20 Februari 2009

Louis Tendean


Vision Seminar Louis Tendean

Memasuki 2009 ini, "si bocah ajaib" Louis Tendean kembali bikin gebrakan. Ia jadi pembicara dalam Vision Seminar yang digelar di Istora Senayan, Jakarta Pusat. Di situ, suami dari peraih Gold Lion, Ferawati Hartono, membeber resep keberhasilannya sebagai networker terkaya dalam jagad network marketing di Tanah Air. Ternyata, semua berpulang kepada impian, berani berproses.

"Jadi itu semua berpulang kepada diri kita sendiri," tegas Louis kepada peserta yang memadati Istora tersebut. Berkat impian tersebut, harta keluarganya yang ludes dilalap si jago merah, berhasil ditebusnya, bahkan melebihinya. Maklumlah obsesinya 2010 mendatang, punya pesawat jet pribadi, segaligus sebagai orang pertama di Executive Director. (**)

Kamis, 05 Februari 2009

kisah sukses

Tak Ada Istilah Gagal

Dua kali – 2006 dan 2007 – namanya masuk sebagai kandidat utama peraih luxury car. Eh, nyatanya nihil. Tapi, tidak membuatnya patah arang. Ia tetap bertahan dan terus mengikuti prosesnya.


Ia sebenarnya tidak mengenal Tianshi. Tapi, setelah mendengar penjelasan rekannya, ia langsung percaya, benar-benar haqqul yaqin. Kok bisa? Alasannya, temannya itu bukan dari kota tempat tinggalnya, Balikpapan. Melainkan, datang secara khusus dari Jakarta menemuinya.
“Kalau tidak benar, mana mungkin dia datang jauh-jauh menemui saya,” jelas Herry Khaeruddin Hasan, menyebut temannya dari Jakarta, Erwin Laode. Eh, sudah begitu, formulir pendaftarannya masih berupa foto copi. Lgi-lagi itu tidak mengurangi keyakinannya. Herry, begitu sapaan akrabnya, langsung join ke Bintang 2, tahun 2002 silam.
Ternyata, keyakinannya itu menjadi benteng terkuat dalam menghadapi segala tantangan. Sebut saja ketidaksetujuan istrinya. Dia menolak mentah-mentah bisnis ini. Maklumlah, jauh sebelum berkubang di Tianshi, Herry pernah malang melintang di pelbagai perusahaan network marketing. Hasilnya, boro-boro sukses, malah isi koceknya terkuras. “Itulah yang dikhawatirkan istri, sehingga dia menolak saya jadi networker,” jelas pria kelahiran 17 Januari 1961, Singaraja, Bali.
Karena keyakinan itu pula membuatnya tidak ingin jadi pecundang. Ia berani menghadapi segala tantangan, sabar menghadapinya, termasuk menghadapi sikap istrinya. Ia tidak ingin menimbulkan perdebatan, kecuali memberikan pemahaman perlahan-lahan. “Diperlukan sikap keberanian menghadapi segala tantangan itu,” ucapnya perlahan.
Kepada istrinya, ayah dua anak ini menjelaskan tentang aset, yang dalam “bahasa” Robert T. Kiyosaki, segala sesuatu yang masuk ke kantong. Nah, dalam membangun aset itu, prosesnya bukan hitungan bulan. Melainkan satu atau dua tahun lebih. Padahal, dalam prakteknya, belum tentu membuahkan hasil. Bisa-bisa berantakan. Jadi, bagaimana solusinya?
Herry tertawa sejenak. “Saya fokus, meningkatkan aktivitas bisnis yang semula seminggu sekali, menjadi sesering mungkin,” jelasnya. Maklumlah, saat di awal, kesibukannya sebagai karyawan Kargo membuat bisnisnya dikerjakan saat waktu senggang. Walhasilnya, pergerakannya tidak signifikan.
Barulah, setelah fokus, hasilnya begitu berbeda. Jaringannya mulai menggurita, ditandai omsetnya terus bertumbuh. Bahkan, selama setahun, tepatnya dalam kurun 2003-2004, peringkatnya melesat ke Bintang 8. “Bayangkan setahun menjadi Bintang 8,” ujarnya bangga, menyebut omset terbesarnya berada di Kalimantan.

Jaringan Rontok
Sayang, masa keemasan itu tidak bertahan lama. Di penghujung 2004, tiba-tiba saja omset jaringannya jeblok, turun sampai 95 persen. Maklumlah, jaringannya rontok. Ada yang berhenti di tengah jalan, “selingkuh” dengan perusahaan lain, dan sebagainya. “Ternyata pondasi saya tidak kuat, ibarat membangun istana di atas pasir, sehingga mudah hancur,” ungkapnya mengibaratkan.
Walau ambruk, tapi bukan berarti mentalnya juga menciut. Ia tetap bertahan, mencoba menata puing-puing jaringannya. Dari situ, suami Triani Kantilasa menyadari kekeliruannya. Ia tidak membangun bisnisnya sesuai dengan sistem, seperti dianjurkan oleh upline maupun para leader. ”Wah, saya berterima kasih kepada mereka,” ungkapnya, seraya menyebut Erwin Laode sebagai upline dan leader seperti Agus TL, Rudy M. Noer, Trisulo dan Susanto Wijaya.
Ternyata, setelah ”tobat nasuha” dengan menggunakan sistem, pelan tapi pasti jaringannya mulai tertata kembali. Itu pun bukan proses mudah. Lagi-lagi dibutuhkan kesabaran, ketabahan dan mau belajar. ”Merubah orang lain itu sulit. Tapi, jauh lebih sulit, merubah diri sendiri,” ujarnya. Ia pun terus menduplikasi sistem kepada seluruh jaringannya. Alhamdulillah, peringkatnya yang semula Bintang 8, meloncat jadi Bronze Lion. Jadi, bila dihitung dari keanggotaan, peringkat itu dicapainya dalam kurun enam tahun.
Ketika Bronze Lion, namanya tertera sebagai peraih luxury car, September 2008 lalu, saat Tianshi menggelar konvensi di kampung halamannya, Cina. Malah, luxury car tersebut, menjadi ”kado” teristimewa bagi anaknya yang kedua, Fandhi Ahmad Hasan. Soalnya, saat diberitahu Rudy M. Noer lewat telepon dirinya peraih luxury car, pas dengan kelahiran anaknya tersebut, jam 14.30, Agustus 2008. ”Wah, senangnya bukan main,” tuturnya.
Bagi Herry, Mercedes Benz tersebut tidak bisa diukur dengan materi, kecuali sebuah simbol dari hasil kerja kerasnya selama membangun jaringan. Maklumlah, selama enam tahun tersebut, tak terhitung penolakan, pelecehan dan fitnah. ”Sekarang, semua terasa hilang. Yang ada kebahagiaan,” tambahnya. Ia berkali-kali mengucapkan rasa syukurnya kepada Sang Khalik, upline, leader dan keluarganya. Tanpa mereka, ia mengaku bukan apa-apa.

Bertahan
Lagi-lagi penghargaan yang diperoleh itu, menunjukkan tak ada istilah gagal dalam bisnis ini, kecuali berhenti di tengah jalan. Alasannya, jauh sebelumnya, ia dua kali masuk sebagai kandidat utama peraih luxury car, 2006 dan 2007. “Saat itu, senangnya bukan main,” ujarnya. Ternyata, saat pembagian, namanya tidak tercantum. Ia tak menampik sempat kecewa, sedih dan semangatnya anjlok.
Untunglah, kekecewaan itu tidak berujung pada “talak tiga” sebagai networker, lalu mengumbar kegagalan dan cerita sumbang kepada orang lain. Ia tetap percaya dan yakin, penghargaan itu akan datang, asalkan tetap bertahan, tetap berproses.
“Coba, kalau saya berhenti, pasti kiprah saya sampai di situ. Saya tidak mungkin meraih penghargaan,” tutur ayah tiga anak ini.
Karena itu, Herry begitu percaya kesuksesan sebuah pilihan, dan hak setiap orang asalkan mau merebutnya. “Nah, persoalannya, banyak orang sekadar mau, tapi tidak berani menghadapi prosesnya,” jelasnya mengingatkan, seperti takut gagal, takut ditolak, takut dilecehkan, diejek dan sebagainya. Padahal, kesuksesan merupakan buah proses, termasuk kegagalan dan penolakan.
Kebetulan, network marketing bukan hanya sekadar “menjual”, tapi juga sarat dengan pembelajaran, khususnya mengenai kehidupan. Misal, kejujuran, disiplin, kesabaran, kesalahan, kegagalan, kepedulian terhadap sesama dan sebagainya. “Dari situlah seseorang akan berubah, ditandai adanya pengembangan kepribadian,” tuturnya. “Perubahan” sikap dan pikiran itulah yang diduplikasikan kepada jaringan.
“Jadi, bicara soal network marketing, bukan hanya sekadar uang, juga tentang nilai-nilai,” jelas anak dari pasangan Muhammad Hasan dan Daryah. Sebagai bukti, Herry menyebut jaringannya, yang semula tidak pendiam, kini mampu bicara, mampu presentasi, punya banyak kawan dan sebagainya. Eh, setelah pengembangan kepribadian itu, penghasilan yang diperoleh tanpa batas.
Padahal dulu, sebelum bergabung di Tianshi, hidupnya biasa-biasa saja. Sekarang, ceritanya jadi lain. Ia bisa membeli kendaraan – di luar luxury car, jalan-jalan keluar negeri bersama keluarga, mensekolahkan anak di sekolah yang terbaik. Dan itu, sesuai amanah dari kedua orang tuanya yang pedagang, jika berusaha jadilah pedagang yang baik dan jujur.
“Sebab, dengan berdagang, kata orang tua bisa berpergian ke mana-mana,” kenang Herry, seraya menyebut kampung orang tuanya di Singaraja, tapi hijrah ke Balikpapan, Kalimantan Barat. Dan di Tianshi, dia menemukan hal itu. Hanya bedanya, “Berdagang” di Tianshi menggunakan sistem yang luar biasa, kita didorong sukses dan belajar dari mereka yang sukses di bisnis ini,” jelasnya mengakhiri obrolan. (**)

Bisnis Plus



Jika Anda ingin sukses sebagai networker, jadikan majalah Bisnis Plus sebagai panduan dan bacaan wajib. Sebab isi dari majalah tersebut sangat lugas mengupas segala sendi bisnis network marketing. Mulai dari ulasan, profil sukses, info perusahaan network marketing, dan sebagainya. Jangan sampai ketinggilan, terbit tiap bulan sekali.
Untuk Info Lebih Lanjut Hub : 085885142887 & 08568460400.

Rabu, 04 Februari 2009

Cerita Sukses

Networker Sidejob yang dasyat

Walau sering gagal, tidak membuatnya trauma dengan network marketing. Alasannya, dibanding bisnis lain, cuma bisnis ini yang tidak ada resiko dan bisa dilakukan paruh waktu untuk menambah penghasilan yang menggiurkan.

Sampai saat ini, bidang usaha yang digelutinya tetap kontraktor. Padahal, kiprahnya dalam jagad network marketing, tak perlu diragukan lagi. Ia mencapai peringkat puncak, Smart President Director (SPD). Bahkan, dari profesi yang dilakoninya sebagai networker di Smart Naco, sebuah perusahaan network marketing asal Malaysia, hidupnya berubah total. Ia punya mobil Terios warna hitam, membeli rumah di Permata Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Tapi, kenapa atributnya sebagai karyawan di bidang kontraktor tak mau ditanggalkan? Gumun Citro Haryono mengembangkan senyum. “Lho, network marketing kan waktunya fleksibel, bisa dilakukan paruh waktu,” jawabnya tertawa. Alumnus Sarjana Teknik Elektro di Institut Teknik Surabaya (ITS) ini memberikan acungan jempol kepada bisnis yang akrab dengan sebutan membangun jaringan. Maklumlah, konsep bisnis ini, bisa dilakoni siapa saja, jauh dari aroma diskriminasi, memberikan hak dan peluang sama kepada siapa saja yang mau merebutnya.
“Kalau saya menjadi kontraktor, minimal punya “jam terbang” yang signifikan, ataupun disiplin ilmu yang dikuasai. Lho, kalau network marketing, apa ada disiplin ilmunya? Apa ada kampus yang membuka fakultas itu?” Haryono, begitu sapaan akrabnya, menggelengkan kepala. Belum lagi dari modal yang relatif kecil, tapi memberikan kran penghasilan tanpa batas. Itulah yang membuatnya kepincut sebagai networker, kendati aktivitas utamanya di bidang kontraktor.
Tapi, Haryono tak menampik, awalnya membangun bisnis ini, waktunya di bidang kontraktor agak dikurangi. Ia lebih fokus pada membangun jaringan, khususnya menggelar sharing dari satu tempat ke tempat yang lain. “Jujur saja, di awalnya memang kesulitan membagi waktu, karena kita benar-benar harus fokus,” ungkapnya. Tapi, setelah terbentuknya jaringan, otomatis kesulitan itu teratasi. Sebab, seperti hal dirinya, jaringan terus “bergerak” demi mewujudkan impian masing-masing.

Membagi Waktu
Jadi, menurutnya, kuncinya terletak pada membagi waktu. Hasilnya, jika kedua bidang itu bisa berjalan, “Kenapa harus dilepaskan? Lebih enak bila kita punya dua penghasilan,” ujarnya mengumbar senyum, seraya menyebut profesinya di bidang kontraktor sekitar 13 tahun. Berkat membagi waktu itu, perjalanan karirnya sebagai networker di Smart Naco berjalan mulus. Tercatat, sejak bergabung di situ, hanya dalam tempo empat bulan, tepatnya April 2007, peringkatnya mencapai Presiden Direktur (PD). Januari 2008, atau 10 bulan kemudian, ia bertengger di posisi puncak, SPD.
“Bila dihitung, posisi puncak itu saya raih dalam tempo 1 tahun,” tandas lelaki kelahiran 10 April 1969 di Magetan, Madiun, Jawa Timur, yang punya jaringan menyebar ke pelbagai kota di Indonesia. Cuma, ketika disebut berapa bonusnya per bulan, Haryono tidak menjawabnya secara gamblang. Ia hanya menyebut sebagai “keberkahan yang luar biasa”, alkhamdulillah melebihi berlipat-lipat penghasilannya di bidang kontraktor.
Tapi, keberkahan networker itu, tak diperolehnya dalam semalam. Jauh sebelum berkubang di Smart Naco, ayah dua anak ini pernah “berpetualang” di 13 perusahaan. Dari jumlah itu, tak satu pun mengantarkarnnya ke peringkat puncak, tandasnya. Untunglah,saya ketemu bisnis di smartnaco yang membuat saya dan teman-teman saya berubah jauh lebih baik dalam waktu sekejab.
Haryono mengaku, walau “petualangannya” di 13 perusahaan selalu kandas di tengah jalan, tak membuatnya apatis, apalagi sampai trauma terhadap network marketing. Bisnis ini, dalam benaknya, tetap terbaik sebagai kran menambah penghasilan. Apalagi, setelah menikah dan dikaruniai dua anak, penghasilannya di kontraktor hanya sebatas mencukupi, tidak berlebih. “Itulah yang membuat saya melakoni networker,” ujar lelaki yang sejak SMA ini sudah menjadi yatim.
Makanya, ketika ditawari sahabatnya, Yacob Jaya, tentang Smart Naco, ia menunjukkan respon yang positif. “Secuil pun saya tidak menolak, apalagi menyatakan bosan dan tobat,” ujarnya tertawa lepas. Apalagi, jauh sebelumnya, sang istri, Maiyulis, saat mengikuti pengajian rutin yang digelar setiap minggu, mendengar langsung cesplengnya produk Smart Naco. Dikabarkan, dua kerabat anggota pengajian itu yang mengidap stroke ringan, dapat berjalan kembali setelah mengkonsumsi 16 sachet susu colustrum Smart Naco.
“Sampai-sampai, istri saya membawa sachetannya ke rumah,” lanjut Haryono. Bahkan, ceritanya berkembang sampai di luar pengajian, membuatnya tertarik mengikuti undangan Yacob, begitu sebutan akrab leader Smart Naco tersebut, datang ke kantornya di kawasan Mangga Dua Square, Jakarta Pusat. Di situ, anak pertama dari tiga bersaudara ini, mendapat penjelasan detail tentang Smart Naco, dari mulai produk, marketing plan dan perusahaannya.

Dua Bulan
Langsung tertarik bergabung? Haryono menggelengkan kepala. “Saya butuh dua bulan untuk bergabung,” lanjutnya. Selama dua bulan itu, ia pelajari dengan seksama Smart Naco. Hasilnya, dalam soal pencapaian peringkat, membuatnya tersentak. Sebab, kemudahan yang dituangkan marketing plan, membuat peringkat puncak dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat. Sekadar contoh, ya Yacob tadi. “Dia bisa mencapai PD hanya perlu waktu dua bulan,” ungkapnya bersemangat. Artinya, bukan mustahil, keberhasilan Yacob bisa diikutinya juga. Dari situlah, tepatnya Januari 2007 lalu, namanya tercatat sebagai bagian dari keluarga besar networker Smart Naco.
Ternyata, keputusaannya tidak keliru. Buktinya, setelah delapan bulan “jungkir balik”, anak dari pasangan Sarinem dan Somo Kaimin (Alm.), memperoleh mobil Terios. Lalu, awal 2008 lalu, lewat bonusnya per bulan, mampu membeli rumah,di kawasan Permata Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Di sisi lain, kemurahan rejeki yang diperoleh, dinilainya sebuah “ujian” dari Sang Khalik. Maklumlah, seperti halnya networker lainnya, kesuksesan itu tidak dibangun sendiri. Melainkan berkat kerja jaringan yang saling mendukung. “Jadi, saya pun, harus bisa mengantarkan jaringan mewujudkan impiannya,” jelas Haryono. Ia juga mengaku tetap eling, memberikan sodakoh dan infak kepada fakir miskin, ataupun memberikan bantuan biaya sekolah kepada beberapa keponakannya.
“Biar bagaimana pun, “investasi” akhirat perlu dilakukan sejak sekarang,” jelasnya tersenyum.
Haryono mengingatkan, kesuksesan networker tidak identik dengan penghasilan semata, ataupun penghargaan yang diperoleh. Melainkan, banyak nilai plus yang diperoleh, terutama pengembangan kepribadian. Sebagai contoh, dia menyebut dirinya sendiri. “Sebelum menjadi networker, sifat saya cenderung pendiam. Tidak pandai bergaul,” ungkapnya.
Sifat tersebut akhirnya mencair, berkat kebiasaan melakukan sharing, presentasi. “Sebab, di bisnis ini, kita dituntut “berbicara” kepada orang lain,” tambah Haryono. Setidaknya, kepedulian kepada sesama, hanya diwujudkan dengan “berbicara”, sehingga bisa memenuhi apa yang didambakannya lewat network marketing. “Inilah sisi positifnya yang membuat saya termotivasi menjadi networker,” ungkapnya. Apalagi, terbilang banyak rekannya yang memiliki sifat seperti dirinya. Tapi, setelah menjadi networker, mampu bersosialisasi kepada siapa saja, punya teman banyak, bisa bicara di depan umum.
Pengembangan diri ini, menurut Haryono, menjadi indikator kesuksesan. Itu, hanya diperoleh, bila ada kemauan kuat dari bersangkutan, mau bekerja keras, mau belajar, khususnya kepada upline maupun leader. “Jadi, sukses atau tidaknya kita di bisnis ini, ditentukan pada diri sendiri. Bukan orang lain” jelasnya. Karena itu, tidak pernah menyerah terhadap penolakan maupun kegagalan, adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar.
“Buktinya saya sendiri. 13 kali gagal, tidak membuat saya menyerah, terus menjadi networker,” ujarnya memberikan perumpamaan. Lalu, membina jaringan, menciptakan figur keberhasilan yang menjadi contoh, memberikan dukungan, menyediakan waktu untuk konsultasi, juga sangat berperan untuk “mengguritakan” jaringan. “Jangan lupa, libatkan istri, sehingga bisa menjadi tim yang saling membantu,” tambahnya.
Ke depan, seperti networker lainnya, Haryono ingin banyak mencetak leader-leader dari jaringannya, sehingga impiannya bisa terwujud. Misal, bonusnya mencapai Rp 150 juta per bulan, menunaikan ibadah haji bersama orang tua. “Itulah impian saya, yang membuat saya terus bergairah menjadi networker,” jelasnya mengakhiri. (**)