Networker Sidejob yang dasyat
Walau sering gagal, tidak membuatnya trauma dengan network marketing. Alasannya, dibanding bisnis lain, cuma bisnis ini yang tidak ada resiko dan bisa dilakukan paruh waktu untuk menambah penghasilan yang menggiurkan.
Sampai saat ini, bidang usaha yang digelutinya tetap kontraktor. Padahal, kiprahnya dalam jagad network marketing, tak perlu diragukan lagi. Ia mencapai peringkat puncak, Smart President Director (SPD). Bahkan, dari profesi yang dilakoninya sebagai networker di Smart Naco, sebuah perusahaan network marketing asal Malaysia, hidupnya berubah total. Ia punya mobil Terios warna hitam, membeli rumah di Permata Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Tapi, kenapa atributnya sebagai karyawan di bidang kontraktor tak mau ditanggalkan? Gumun Citro Haryono mengembangkan senyum. “Lho, network marketing kan waktunya fleksibel, bisa dilakukan paruh waktu,” jawabnya tertawa. Alumnus Sarjana Teknik Elektro di Institut Teknik Surabaya (ITS) ini memberikan acungan jempol kepada bisnis yang akrab dengan sebutan membangun jaringan. Maklumlah, konsep bisnis ini, bisa dilakoni siapa saja, jauh dari aroma diskriminasi, memberikan hak dan peluang sama kepada siapa saja yang mau merebutnya.
“Kalau saya menjadi kontraktor, minimal punya “jam terbang” yang signifikan, ataupun disiplin ilmu yang dikuasai. Lho, kalau network marketing, apa ada disiplin ilmunya? Apa ada kampus yang membuka fakultas itu?” Haryono, begitu sapaan akrabnya, menggelengkan kepala. Belum lagi dari modal yang relatif kecil, tapi memberikan kran penghasilan tanpa batas. Itulah yang membuatnya kepincut sebagai networker, kendati aktivitas utamanya di bidang kontraktor.
Tapi, Haryono tak menampik, awalnya membangun bisnis ini, waktunya di bidang kontraktor agak dikurangi. Ia lebih fokus pada membangun jaringan, khususnya menggelar sharing dari satu tempat ke tempat yang lain. “Jujur saja, di awalnya memang kesulitan membagi waktu, karena kita benar-benar harus fokus,” ungkapnya. Tapi, setelah terbentuknya jaringan, otomatis kesulitan itu teratasi. Sebab, seperti hal dirinya, jaringan terus “bergerak” demi mewujudkan impian masing-masing.
Membagi Waktu
Jadi, menurutnya, kuncinya terletak pada membagi waktu. Hasilnya, jika kedua bidang itu bisa berjalan, “Kenapa harus dilepaskan? Lebih enak bila kita punya dua penghasilan,” ujarnya mengumbar senyum, seraya menyebut profesinya di bidang kontraktor sekitar 13 tahun. Berkat membagi waktu itu, perjalanan karirnya sebagai networker di Smart Naco berjalan mulus. Tercatat, sejak bergabung di situ, hanya dalam tempo empat bulan, tepatnya April 2007, peringkatnya mencapai Presiden Direktur (PD). Januari 2008, atau 10 bulan kemudian, ia bertengger di posisi puncak, SPD.
“Bila dihitung, posisi puncak itu saya raih dalam tempo 1 tahun,” tandas lelaki kelahiran 10 April 1969 di Magetan, Madiun, Jawa Timur, yang punya jaringan menyebar ke pelbagai kota di Indonesia. Cuma, ketika disebut berapa bonusnya per bulan, Haryono tidak menjawabnya secara gamblang. Ia hanya menyebut sebagai “keberkahan yang luar biasa”, alkhamdulillah melebihi berlipat-lipat penghasilannya di bidang kontraktor.
Tapi, keberkahan networker itu, tak diperolehnya dalam semalam. Jauh sebelum berkubang di Smart Naco, ayah dua anak ini pernah “berpetualang” di 13 perusahaan. Dari jumlah itu, tak satu pun mengantarkarnnya ke peringkat puncak, tandasnya. Untunglah,saya ketemu bisnis di smartnaco yang membuat saya dan teman-teman saya berubah jauh lebih baik dalam waktu sekejab.
Haryono mengaku, walau “petualangannya” di 13 perusahaan selalu kandas di tengah jalan, tak membuatnya apatis, apalagi sampai trauma terhadap network marketing. Bisnis ini, dalam benaknya, tetap terbaik sebagai kran menambah penghasilan. Apalagi, setelah menikah dan dikaruniai dua anak, penghasilannya di kontraktor hanya sebatas mencukupi, tidak berlebih. “Itulah yang membuat saya melakoni networker,” ujar lelaki yang sejak SMA ini sudah menjadi yatim.
Makanya, ketika ditawari sahabatnya, Yacob Jaya, tentang Smart Naco, ia menunjukkan respon yang positif. “Secuil pun saya tidak menolak, apalagi menyatakan bosan dan tobat,” ujarnya tertawa lepas. Apalagi, jauh sebelumnya, sang istri, Maiyulis, saat mengikuti pengajian rutin yang digelar setiap minggu, mendengar langsung cesplengnya produk Smart Naco. Dikabarkan, dua kerabat anggota pengajian itu yang mengidap stroke ringan, dapat berjalan kembali setelah mengkonsumsi 16 sachet susu colustrum Smart Naco.
“Sampai-sampai, istri saya membawa sachetannya ke rumah,” lanjut Haryono. Bahkan, ceritanya berkembang sampai di luar pengajian, membuatnya tertarik mengikuti undangan Yacob, begitu sebutan akrab leader Smart Naco tersebut, datang ke kantornya di kawasan Mangga Dua Square, Jakarta Pusat. Di situ, anak pertama dari tiga bersaudara ini, mendapat penjelasan detail tentang Smart Naco, dari mulai produk, marketing plan dan perusahaannya.
Dua Bulan
Langsung tertarik bergabung? Haryono menggelengkan kepala. “Saya butuh dua bulan untuk bergabung,” lanjutnya. Selama dua bulan itu, ia pelajari dengan seksama Smart Naco. Hasilnya, dalam soal pencapaian peringkat, membuatnya tersentak. Sebab, kemudahan yang dituangkan marketing plan, membuat peringkat puncak dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat. Sekadar contoh, ya Yacob tadi. “Dia bisa mencapai PD hanya perlu waktu dua bulan,” ungkapnya bersemangat. Artinya, bukan mustahil, keberhasilan Yacob bisa diikutinya juga. Dari situlah, tepatnya Januari 2007 lalu, namanya tercatat sebagai bagian dari keluarga besar networker Smart Naco.
Ternyata, keputusaannya tidak keliru. Buktinya, setelah delapan bulan “jungkir balik”, anak dari pasangan Sarinem dan Somo Kaimin (Alm.), memperoleh mobil Terios. Lalu, awal 2008 lalu, lewat bonusnya per bulan, mampu membeli rumah,di kawasan Permata Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Di sisi lain, kemurahan rejeki yang diperoleh, dinilainya sebuah “ujian” dari Sang Khalik. Maklumlah, seperti halnya networker lainnya, kesuksesan itu tidak dibangun sendiri. Melainkan berkat kerja jaringan yang saling mendukung. “Jadi, saya pun, harus bisa mengantarkan jaringan mewujudkan impiannya,” jelas Haryono. Ia juga mengaku tetap eling, memberikan sodakoh dan infak kepada fakir miskin, ataupun memberikan bantuan biaya sekolah kepada beberapa keponakannya.
“Biar bagaimana pun, “investasi” akhirat perlu dilakukan sejak sekarang,” jelasnya tersenyum.
Haryono mengingatkan, kesuksesan networker tidak identik dengan penghasilan semata, ataupun penghargaan yang diperoleh. Melainkan, banyak nilai plus yang diperoleh, terutama pengembangan kepribadian. Sebagai contoh, dia menyebut dirinya sendiri. “Sebelum menjadi networker, sifat saya cenderung pendiam. Tidak pandai bergaul,” ungkapnya.
Sifat tersebut akhirnya mencair, berkat kebiasaan melakukan sharing, presentasi. “Sebab, di bisnis ini, kita dituntut “berbicara” kepada orang lain,” tambah Haryono. Setidaknya, kepedulian kepada sesama, hanya diwujudkan dengan “berbicara”, sehingga bisa memenuhi apa yang didambakannya lewat network marketing. “Inilah sisi positifnya yang membuat saya termotivasi menjadi networker,” ungkapnya. Apalagi, terbilang banyak rekannya yang memiliki sifat seperti dirinya. Tapi, setelah menjadi networker, mampu bersosialisasi kepada siapa saja, punya teman banyak, bisa bicara di depan umum.
Pengembangan diri ini, menurut Haryono, menjadi indikator kesuksesan. Itu, hanya diperoleh, bila ada kemauan kuat dari bersangkutan, mau bekerja keras, mau belajar, khususnya kepada upline maupun leader. “Jadi, sukses atau tidaknya kita di bisnis ini, ditentukan pada diri sendiri. Bukan orang lain” jelasnya. Karena itu, tidak pernah menyerah terhadap penolakan maupun kegagalan, adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar.
“Buktinya saya sendiri. 13 kali gagal, tidak membuat saya menyerah, terus menjadi networker,” ujarnya memberikan perumpamaan. Lalu, membina jaringan, menciptakan figur keberhasilan yang menjadi contoh, memberikan dukungan, menyediakan waktu untuk konsultasi, juga sangat berperan untuk “mengguritakan” jaringan. “Jangan lupa, libatkan istri, sehingga bisa menjadi tim yang saling membantu,” tambahnya.
Ke depan, seperti networker lainnya, Haryono ingin banyak mencetak leader-leader dari jaringannya, sehingga impiannya bisa terwujud. Misal, bonusnya mencapai Rp 150 juta per bulan, menunaikan ibadah haji bersama orang tua. “Itulah impian saya, yang membuat saya terus bergairah menjadi networker,” jelasnya mengakhiri. (**)
Walau sering gagal, tidak membuatnya trauma dengan network marketing. Alasannya, dibanding bisnis lain, cuma bisnis ini yang tidak ada resiko dan bisa dilakukan paruh waktu untuk menambah penghasilan yang menggiurkan.
Sampai saat ini, bidang usaha yang digelutinya tetap kontraktor. Padahal, kiprahnya dalam jagad network marketing, tak perlu diragukan lagi. Ia mencapai peringkat puncak, Smart President Director (SPD). Bahkan, dari profesi yang dilakoninya sebagai networker di Smart Naco, sebuah perusahaan network marketing asal Malaysia, hidupnya berubah total. Ia punya mobil Terios warna hitam, membeli rumah di Permata Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Tapi, kenapa atributnya sebagai karyawan di bidang kontraktor tak mau ditanggalkan? Gumun Citro Haryono mengembangkan senyum. “Lho, network marketing kan waktunya fleksibel, bisa dilakukan paruh waktu,” jawabnya tertawa. Alumnus Sarjana Teknik Elektro di Institut Teknik Surabaya (ITS) ini memberikan acungan jempol kepada bisnis yang akrab dengan sebutan membangun jaringan. Maklumlah, konsep bisnis ini, bisa dilakoni siapa saja, jauh dari aroma diskriminasi, memberikan hak dan peluang sama kepada siapa saja yang mau merebutnya.
“Kalau saya menjadi kontraktor, minimal punya “jam terbang” yang signifikan, ataupun disiplin ilmu yang dikuasai. Lho, kalau network marketing, apa ada disiplin ilmunya? Apa ada kampus yang membuka fakultas itu?” Haryono, begitu sapaan akrabnya, menggelengkan kepala. Belum lagi dari modal yang relatif kecil, tapi memberikan kran penghasilan tanpa batas. Itulah yang membuatnya kepincut sebagai networker, kendati aktivitas utamanya di bidang kontraktor.
Tapi, Haryono tak menampik, awalnya membangun bisnis ini, waktunya di bidang kontraktor agak dikurangi. Ia lebih fokus pada membangun jaringan, khususnya menggelar sharing dari satu tempat ke tempat yang lain. “Jujur saja, di awalnya memang kesulitan membagi waktu, karena kita benar-benar harus fokus,” ungkapnya. Tapi, setelah terbentuknya jaringan, otomatis kesulitan itu teratasi. Sebab, seperti hal dirinya, jaringan terus “bergerak” demi mewujudkan impian masing-masing.
Membagi Waktu
Jadi, menurutnya, kuncinya terletak pada membagi waktu. Hasilnya, jika kedua bidang itu bisa berjalan, “Kenapa harus dilepaskan? Lebih enak bila kita punya dua penghasilan,” ujarnya mengumbar senyum, seraya menyebut profesinya di bidang kontraktor sekitar 13 tahun. Berkat membagi waktu itu, perjalanan karirnya sebagai networker di Smart Naco berjalan mulus. Tercatat, sejak bergabung di situ, hanya dalam tempo empat bulan, tepatnya April 2007, peringkatnya mencapai Presiden Direktur (PD). Januari 2008, atau 10 bulan kemudian, ia bertengger di posisi puncak, SPD.
“Bila dihitung, posisi puncak itu saya raih dalam tempo 1 tahun,” tandas lelaki kelahiran 10 April 1969 di Magetan, Madiun, Jawa Timur, yang punya jaringan menyebar ke pelbagai kota di Indonesia. Cuma, ketika disebut berapa bonusnya per bulan, Haryono tidak menjawabnya secara gamblang. Ia hanya menyebut sebagai “keberkahan yang luar biasa”, alkhamdulillah melebihi berlipat-lipat penghasilannya di bidang kontraktor.
Tapi, keberkahan networker itu, tak diperolehnya dalam semalam. Jauh sebelum berkubang di Smart Naco, ayah dua anak ini pernah “berpetualang” di 13 perusahaan. Dari jumlah itu, tak satu pun mengantarkarnnya ke peringkat puncak, tandasnya. Untunglah,saya ketemu bisnis di smartnaco yang membuat saya dan teman-teman saya berubah jauh lebih baik dalam waktu sekejab.
Haryono mengaku, walau “petualangannya” di 13 perusahaan selalu kandas di tengah jalan, tak membuatnya apatis, apalagi sampai trauma terhadap network marketing. Bisnis ini, dalam benaknya, tetap terbaik sebagai kran menambah penghasilan. Apalagi, setelah menikah dan dikaruniai dua anak, penghasilannya di kontraktor hanya sebatas mencukupi, tidak berlebih. “Itulah yang membuat saya melakoni networker,” ujar lelaki yang sejak SMA ini sudah menjadi yatim.
Makanya, ketika ditawari sahabatnya, Yacob Jaya, tentang Smart Naco, ia menunjukkan respon yang positif. “Secuil pun saya tidak menolak, apalagi menyatakan bosan dan tobat,” ujarnya tertawa lepas. Apalagi, jauh sebelumnya, sang istri, Maiyulis, saat mengikuti pengajian rutin yang digelar setiap minggu, mendengar langsung cesplengnya produk Smart Naco. Dikabarkan, dua kerabat anggota pengajian itu yang mengidap stroke ringan, dapat berjalan kembali setelah mengkonsumsi 16 sachet susu colustrum Smart Naco.
“Sampai-sampai, istri saya membawa sachetannya ke rumah,” lanjut Haryono. Bahkan, ceritanya berkembang sampai di luar pengajian, membuatnya tertarik mengikuti undangan Yacob, begitu sebutan akrab leader Smart Naco tersebut, datang ke kantornya di kawasan Mangga Dua Square, Jakarta Pusat. Di situ, anak pertama dari tiga bersaudara ini, mendapat penjelasan detail tentang Smart Naco, dari mulai produk, marketing plan dan perusahaannya.
Dua Bulan
Langsung tertarik bergabung? Haryono menggelengkan kepala. “Saya butuh dua bulan untuk bergabung,” lanjutnya. Selama dua bulan itu, ia pelajari dengan seksama Smart Naco. Hasilnya, dalam soal pencapaian peringkat, membuatnya tersentak. Sebab, kemudahan yang dituangkan marketing plan, membuat peringkat puncak dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat. Sekadar contoh, ya Yacob tadi. “Dia bisa mencapai PD hanya perlu waktu dua bulan,” ungkapnya bersemangat. Artinya, bukan mustahil, keberhasilan Yacob bisa diikutinya juga. Dari situlah, tepatnya Januari 2007 lalu, namanya tercatat sebagai bagian dari keluarga besar networker Smart Naco.
Ternyata, keputusaannya tidak keliru. Buktinya, setelah delapan bulan “jungkir balik”, anak dari pasangan Sarinem dan Somo Kaimin (Alm.), memperoleh mobil Terios. Lalu, awal 2008 lalu, lewat bonusnya per bulan, mampu membeli rumah,di kawasan Permata Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Di sisi lain, kemurahan rejeki yang diperoleh, dinilainya sebuah “ujian” dari Sang Khalik. Maklumlah, seperti halnya networker lainnya, kesuksesan itu tidak dibangun sendiri. Melainkan berkat kerja jaringan yang saling mendukung. “Jadi, saya pun, harus bisa mengantarkan jaringan mewujudkan impiannya,” jelas Haryono. Ia juga mengaku tetap eling, memberikan sodakoh dan infak kepada fakir miskin, ataupun memberikan bantuan biaya sekolah kepada beberapa keponakannya.
“Biar bagaimana pun, “investasi” akhirat perlu dilakukan sejak sekarang,” jelasnya tersenyum.
Haryono mengingatkan, kesuksesan networker tidak identik dengan penghasilan semata, ataupun penghargaan yang diperoleh. Melainkan, banyak nilai plus yang diperoleh, terutama pengembangan kepribadian. Sebagai contoh, dia menyebut dirinya sendiri. “Sebelum menjadi networker, sifat saya cenderung pendiam. Tidak pandai bergaul,” ungkapnya.
Sifat tersebut akhirnya mencair, berkat kebiasaan melakukan sharing, presentasi. “Sebab, di bisnis ini, kita dituntut “berbicara” kepada orang lain,” tambah Haryono. Setidaknya, kepedulian kepada sesama, hanya diwujudkan dengan “berbicara”, sehingga bisa memenuhi apa yang didambakannya lewat network marketing. “Inilah sisi positifnya yang membuat saya termotivasi menjadi networker,” ungkapnya. Apalagi, terbilang banyak rekannya yang memiliki sifat seperti dirinya. Tapi, setelah menjadi networker, mampu bersosialisasi kepada siapa saja, punya teman banyak, bisa bicara di depan umum.
Pengembangan diri ini, menurut Haryono, menjadi indikator kesuksesan. Itu, hanya diperoleh, bila ada kemauan kuat dari bersangkutan, mau bekerja keras, mau belajar, khususnya kepada upline maupun leader. “Jadi, sukses atau tidaknya kita di bisnis ini, ditentukan pada diri sendiri. Bukan orang lain” jelasnya. Karena itu, tidak pernah menyerah terhadap penolakan maupun kegagalan, adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar.
“Buktinya saya sendiri. 13 kali gagal, tidak membuat saya menyerah, terus menjadi networker,” ujarnya memberikan perumpamaan. Lalu, membina jaringan, menciptakan figur keberhasilan yang menjadi contoh, memberikan dukungan, menyediakan waktu untuk konsultasi, juga sangat berperan untuk “mengguritakan” jaringan. “Jangan lupa, libatkan istri, sehingga bisa menjadi tim yang saling membantu,” tambahnya.
Ke depan, seperti networker lainnya, Haryono ingin banyak mencetak leader-leader dari jaringannya, sehingga impiannya bisa terwujud. Misal, bonusnya mencapai Rp 150 juta per bulan, menunaikan ibadah haji bersama orang tua. “Itulah impian saya, yang membuat saya terus bergairah menjadi networker,” jelasnya mengakhiri. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar