Kamis, 05 Februari 2009

kisah sukses

Tak Ada Istilah Gagal

Dua kali – 2006 dan 2007 – namanya masuk sebagai kandidat utama peraih luxury car. Eh, nyatanya nihil. Tapi, tidak membuatnya patah arang. Ia tetap bertahan dan terus mengikuti prosesnya.


Ia sebenarnya tidak mengenal Tianshi. Tapi, setelah mendengar penjelasan rekannya, ia langsung percaya, benar-benar haqqul yaqin. Kok bisa? Alasannya, temannya itu bukan dari kota tempat tinggalnya, Balikpapan. Melainkan, datang secara khusus dari Jakarta menemuinya.
“Kalau tidak benar, mana mungkin dia datang jauh-jauh menemui saya,” jelas Herry Khaeruddin Hasan, menyebut temannya dari Jakarta, Erwin Laode. Eh, sudah begitu, formulir pendaftarannya masih berupa foto copi. Lgi-lagi itu tidak mengurangi keyakinannya. Herry, begitu sapaan akrabnya, langsung join ke Bintang 2, tahun 2002 silam.
Ternyata, keyakinannya itu menjadi benteng terkuat dalam menghadapi segala tantangan. Sebut saja ketidaksetujuan istrinya. Dia menolak mentah-mentah bisnis ini. Maklumlah, jauh sebelum berkubang di Tianshi, Herry pernah malang melintang di pelbagai perusahaan network marketing. Hasilnya, boro-boro sukses, malah isi koceknya terkuras. “Itulah yang dikhawatirkan istri, sehingga dia menolak saya jadi networker,” jelas pria kelahiran 17 Januari 1961, Singaraja, Bali.
Karena keyakinan itu pula membuatnya tidak ingin jadi pecundang. Ia berani menghadapi segala tantangan, sabar menghadapinya, termasuk menghadapi sikap istrinya. Ia tidak ingin menimbulkan perdebatan, kecuali memberikan pemahaman perlahan-lahan. “Diperlukan sikap keberanian menghadapi segala tantangan itu,” ucapnya perlahan.
Kepada istrinya, ayah dua anak ini menjelaskan tentang aset, yang dalam “bahasa” Robert T. Kiyosaki, segala sesuatu yang masuk ke kantong. Nah, dalam membangun aset itu, prosesnya bukan hitungan bulan. Melainkan satu atau dua tahun lebih. Padahal, dalam prakteknya, belum tentu membuahkan hasil. Bisa-bisa berantakan. Jadi, bagaimana solusinya?
Herry tertawa sejenak. “Saya fokus, meningkatkan aktivitas bisnis yang semula seminggu sekali, menjadi sesering mungkin,” jelasnya. Maklumlah, saat di awal, kesibukannya sebagai karyawan Kargo membuat bisnisnya dikerjakan saat waktu senggang. Walhasilnya, pergerakannya tidak signifikan.
Barulah, setelah fokus, hasilnya begitu berbeda. Jaringannya mulai menggurita, ditandai omsetnya terus bertumbuh. Bahkan, selama setahun, tepatnya dalam kurun 2003-2004, peringkatnya melesat ke Bintang 8. “Bayangkan setahun menjadi Bintang 8,” ujarnya bangga, menyebut omset terbesarnya berada di Kalimantan.

Jaringan Rontok
Sayang, masa keemasan itu tidak bertahan lama. Di penghujung 2004, tiba-tiba saja omset jaringannya jeblok, turun sampai 95 persen. Maklumlah, jaringannya rontok. Ada yang berhenti di tengah jalan, “selingkuh” dengan perusahaan lain, dan sebagainya. “Ternyata pondasi saya tidak kuat, ibarat membangun istana di atas pasir, sehingga mudah hancur,” ungkapnya mengibaratkan.
Walau ambruk, tapi bukan berarti mentalnya juga menciut. Ia tetap bertahan, mencoba menata puing-puing jaringannya. Dari situ, suami Triani Kantilasa menyadari kekeliruannya. Ia tidak membangun bisnisnya sesuai dengan sistem, seperti dianjurkan oleh upline maupun para leader. ”Wah, saya berterima kasih kepada mereka,” ungkapnya, seraya menyebut Erwin Laode sebagai upline dan leader seperti Agus TL, Rudy M. Noer, Trisulo dan Susanto Wijaya.
Ternyata, setelah ”tobat nasuha” dengan menggunakan sistem, pelan tapi pasti jaringannya mulai tertata kembali. Itu pun bukan proses mudah. Lagi-lagi dibutuhkan kesabaran, ketabahan dan mau belajar. ”Merubah orang lain itu sulit. Tapi, jauh lebih sulit, merubah diri sendiri,” ujarnya. Ia pun terus menduplikasi sistem kepada seluruh jaringannya. Alhamdulillah, peringkatnya yang semula Bintang 8, meloncat jadi Bronze Lion. Jadi, bila dihitung dari keanggotaan, peringkat itu dicapainya dalam kurun enam tahun.
Ketika Bronze Lion, namanya tertera sebagai peraih luxury car, September 2008 lalu, saat Tianshi menggelar konvensi di kampung halamannya, Cina. Malah, luxury car tersebut, menjadi ”kado” teristimewa bagi anaknya yang kedua, Fandhi Ahmad Hasan. Soalnya, saat diberitahu Rudy M. Noer lewat telepon dirinya peraih luxury car, pas dengan kelahiran anaknya tersebut, jam 14.30, Agustus 2008. ”Wah, senangnya bukan main,” tuturnya.
Bagi Herry, Mercedes Benz tersebut tidak bisa diukur dengan materi, kecuali sebuah simbol dari hasil kerja kerasnya selama membangun jaringan. Maklumlah, selama enam tahun tersebut, tak terhitung penolakan, pelecehan dan fitnah. ”Sekarang, semua terasa hilang. Yang ada kebahagiaan,” tambahnya. Ia berkali-kali mengucapkan rasa syukurnya kepada Sang Khalik, upline, leader dan keluarganya. Tanpa mereka, ia mengaku bukan apa-apa.

Bertahan
Lagi-lagi penghargaan yang diperoleh itu, menunjukkan tak ada istilah gagal dalam bisnis ini, kecuali berhenti di tengah jalan. Alasannya, jauh sebelumnya, ia dua kali masuk sebagai kandidat utama peraih luxury car, 2006 dan 2007. “Saat itu, senangnya bukan main,” ujarnya. Ternyata, saat pembagian, namanya tidak tercantum. Ia tak menampik sempat kecewa, sedih dan semangatnya anjlok.
Untunglah, kekecewaan itu tidak berujung pada “talak tiga” sebagai networker, lalu mengumbar kegagalan dan cerita sumbang kepada orang lain. Ia tetap percaya dan yakin, penghargaan itu akan datang, asalkan tetap bertahan, tetap berproses.
“Coba, kalau saya berhenti, pasti kiprah saya sampai di situ. Saya tidak mungkin meraih penghargaan,” tutur ayah tiga anak ini.
Karena itu, Herry begitu percaya kesuksesan sebuah pilihan, dan hak setiap orang asalkan mau merebutnya. “Nah, persoalannya, banyak orang sekadar mau, tapi tidak berani menghadapi prosesnya,” jelasnya mengingatkan, seperti takut gagal, takut ditolak, takut dilecehkan, diejek dan sebagainya. Padahal, kesuksesan merupakan buah proses, termasuk kegagalan dan penolakan.
Kebetulan, network marketing bukan hanya sekadar “menjual”, tapi juga sarat dengan pembelajaran, khususnya mengenai kehidupan. Misal, kejujuran, disiplin, kesabaran, kesalahan, kegagalan, kepedulian terhadap sesama dan sebagainya. “Dari situlah seseorang akan berubah, ditandai adanya pengembangan kepribadian,” tuturnya. “Perubahan” sikap dan pikiran itulah yang diduplikasikan kepada jaringan.
“Jadi, bicara soal network marketing, bukan hanya sekadar uang, juga tentang nilai-nilai,” jelas anak dari pasangan Muhammad Hasan dan Daryah. Sebagai bukti, Herry menyebut jaringannya, yang semula tidak pendiam, kini mampu bicara, mampu presentasi, punya banyak kawan dan sebagainya. Eh, setelah pengembangan kepribadian itu, penghasilan yang diperoleh tanpa batas.
Padahal dulu, sebelum bergabung di Tianshi, hidupnya biasa-biasa saja. Sekarang, ceritanya jadi lain. Ia bisa membeli kendaraan – di luar luxury car, jalan-jalan keluar negeri bersama keluarga, mensekolahkan anak di sekolah yang terbaik. Dan itu, sesuai amanah dari kedua orang tuanya yang pedagang, jika berusaha jadilah pedagang yang baik dan jujur.
“Sebab, dengan berdagang, kata orang tua bisa berpergian ke mana-mana,” kenang Herry, seraya menyebut kampung orang tuanya di Singaraja, tapi hijrah ke Balikpapan, Kalimantan Barat. Dan di Tianshi, dia menemukan hal itu. Hanya bedanya, “Berdagang” di Tianshi menggunakan sistem yang luar biasa, kita didorong sukses dan belajar dari mereka yang sukses di bisnis ini,” jelasnya mengakhiri obrolan. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar